Beranda | Artikel
Al Marhum Benarkah Sebutan ini?
Minggu, 26 Februari 2006

AL MARHUM BENARKAH SEBUTAN INI ?

Dalam kehidupan sehari-hari, acapkali kita mendengar atau membaca di media massa cetak ataupun elektronik, yaitu penyebutan kalimat almarhum (orang yang mendapatkan rahmat) kepada orang yang sudah meninggal, sehingga seakan-akan menjadi gelar. Bagaimanakah pandangan ulama mengenai penyebutan kalimat ini? Berikut, kami nukilkan sebuah pertanyaan dan jawabannya.

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ ditanya: Saya mendengar sebagian kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang. Saya ingin mengetahui pandangan Islam terhadap kalimat ini? Misalnya, jika ada seseorang tertentu meninggal dunia, sebagian orang ada yang mengatakan “al marhum Si Fulan”. Jika orang yang meninggal itu memiliki kedudukan, mereka mengatakan “al maghfur lahu Fulan”.

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ menjawab : Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia, merupakan perkara ghaib ; hanya diketahui oleh Allah, kemudian makhluk yang diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla, seperti para malaikatNya dan para nabiNya.

Jadi pemberitaan orang lain, selain para malaikat atau para nabi tentang mayit bahwa ia sudah mendapatkan rahmat atau maghfirah, merupakan sesuatu yang tidak boleh. Kecuali (tentang) orang yang sudah dijelaskan nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kalau berani berbicara) tanpa nash, bararti telah berlaku lancang atas sesuatu yang ghaib, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. [an Naml/27:65].

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya”. [al Jin/72:26-27].

Namun seorang muslim diharapkan mendapatkan maghfirah (ampunan), rahmat dan masuk surga, sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Dan dia dido’akan agar mendapatkan ampunan, sebagai ganti dari pemberitaan bahwa ia telah mendapatkan ampunan dan rahmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” [an Nisa/4:48].

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:

عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ أُمَّ الْعَلَاءِ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ بَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ فَقَالَ أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي قَالَتْ فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدُ أَبَدًا -رواه البخاري

Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa Ummul Ala’ –dia seorang wanita yang sudah pernah membai’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberitahuku, bahwa kaum Muhajirin diundi (untuk menentukan siapa di kalangan Muhajirin yang ditempatkan di rumah dari kalangan Anshar). Maka Utsman bin Mazh’un terpilih buat kami, lalu kami tempatkan di rumah kami. Lalu dia sakit yang menyebabkan meninggal. Ketika sudah meninggal, dimandikan, dan telah dikafani dengan kain-kainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk. Lalu aku mengatakan, “Rahmat Allah atasmu, wahai Abu Sa’ib (maksudnya Utsman bin Mazh’un). Aku bersaksi bahwa Allah sungguh Allah telah memuliakanmu.” Mendengar ucapanku ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apa yang telah membuat engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya?” Aku mengatakan,”Demi bapakmu (ini bukan untuk bersumpah, pent), lalu siapa yang dimuliakan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Karena dia sudah meninggal dunia. Maka, demi Allah. Saya sungguh mengharapkan kebaikan baginya. Dan demi, Allah. Saya tidak tahu –padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah lakukan pada diri saya!” Kemudian Ummul ‘Ala mengatakan: “Demi, Allah. Setelah itu, seterusnya, (kepada seorang pun) saya tidak (lagi) memberi persaksian bahwa si fulan mendapatkan kebaikan setelah meninggalnya”. [HR Bukhari].

Dan mengenai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي

Dan demi, Allah. Saya tidak tahu -padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah lakukan pada diri saya.

Ucapan ini, Beliau katakan sebelum Allah menurunkan firmanNya:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَاتَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَاتَأَخَّرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada kamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang”. [al Fath/48:1-2].

Juga sebelum Allah memberitahukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk sebagai penghuni surga.

بِالله التَّوْفِيْقِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Komite Fatwa Dan Pembahasan Ilmiah.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazaq Afifi; Anggota: Abdullah Al Gadyan dan Abdullah Qu’ud.
Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, 2/159-160.

Mengenai ucapan al marhum, jika maknanya pemberitaan tentang keadaan si mayit bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka ini haram. Karena ucapan ini berarti sama dengan memastikan bahwa si fulan termasuk penduduk surga. Padahal ini termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla.

Syaikh Bin Baz mengatakan, “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkeyakinan, sesungguhnya tidak diperbolehkan memberikan persaksian atas diri seseorang -bahwa orang itu di syurga atau di neraka- kecuali yang telah dijelaskan dalam nash Al Qur’an, seperti Abu Lahb (sebagai penghuni neraka), dan orang yang dipersaksikan Rasulullah sebagai penghuni syurga, seperti sepuluh sahabat (yang diberitakan akan masuk syurga) atau yang semisalnya. Demikian juga (tidak diperbolehkan) persaksian atas seseorang bahwa ia maghfur lahu (mendapatkan ampunan) atau al marhum (mendapatkan rahmat). Oleh karena itu, sebagai ganti dari ucapan al marhum dan al maghfur, sebaiknya diucapkan:

غَفَرَالله لَهُ

Semoga Allah mengampuninya, atau

رَحِمَهُ اللهُ

Semoga Allah merahmatinya.

Atau ungkapan sejenis yang termasuk do’a bagi si mayit.
(Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalatu Mutanawwi’ah, 4/335).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin : Namun jika makna al marhum itu sebagai ungkapan optimisme atau harapan semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini.
(Lihat Majmu’ Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/85)

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami, semestinya kalimat al marhum diganti dengan rahimahullah, ghafarallahu lahu, Allahu yarhamuhu atau sejenisnya yang merupakan do’a.

Demikian, semoga bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1772-al-marhum-benarkah-sebutan-ini.html